“Mut, ayo nikah!”. Sudah ada sekitar
5 ajakan dari orang yang berbeda. Aku harus jawab gimana?
Dan entah kebetulan aja atau emang
udah digariskan, orang – orang yang bilang seperti itu adalah mereka yang
umurnya udah mendekati om – om dan mungkin mereka mengejar target menikah di usia
maksimum, mereka tidak lagi mencari pacar tapi mencari seorang istri dan juga seorang
ibu dari anak – anak mereka kelak (rentang umurnya sama aku paling deket itu 5
tahun – 8 tahun, dan sekarang aku umur 20 mendekati 21, berarti yang ngajak
nikah aku itu umur 26 - 30? Om – om kannn?? -__-, tapi gak papa sih, lebih
mateng, ibarat sawo itu kalau belum mateng kan sepet, kalo udah mateng kan enak
kan ya, tapi jangan sampe busuk!! :D
Duh malah ngomongin sawo. Balik ke
topik ajakan untuk menikah. Ajakan yang cukup serius dan kalau aku bilang “iya”
pasti langsung ditembung.
Dulu, jaman EsEmA aku pernah punya
keinginan untuk nikah muda, pikirku biar anakku ntar kalau cewek gak kalah
cantik sama bundanya, kalo cowok, aku diajak jalan – jalan aja masih keren.
Dulu waktu aku umur 19 tahun, aku pernah punya keinginan yang begitu menggebu untuk nikah. Apalagi dengannya, khayalan – khayalan setelah nikah, keinginan untuk punya rumah yang kayak gimana, keinginan buat punya anak berapa, keinginan buat bulan madu dimana.
Dulu waktu aku umur 19 tahun, aku pernah punya keinginan yang begitu menggebu untuk nikah. Apalagi dengannya, khayalan – khayalan setelah nikah, keinginan untuk punya rumah yang kayak gimana, keinginan buat punya anak berapa, keinginan buat bulan madu dimana.
Apalagi kalau jagong manten dan liat
akad nikah secara langsung, aku pasti ngeliat dengan MuPeng dan bilang, “Ah,
aku kapan ya kayak gitu?”
Tapi sekarang, setelah hubungan ini
naik menjadi hubungan yang bukan sederhana lagi, bukan sekedar hubungan antara
aku dan dia tapi dengan keluarga masing – masing, hubungan yang semakin pasti.
Namun semakin kesini aku semakin tidak siap. Aku tidak yakin. Aku berfikir, aku
masih punya tanggung jawab, adek dan keluargaku. Buat apa Pak Juwari banting
tulang, ngayuh becak tiap hari, buat apa mamak gendong rumput berkilo – kilo
meter tiap hari demi hidupku, demi kuliahku, kalau pada akhirnya, aku tanpa
membalas apapun dan kehidupan mereka tidak berubah lalu aku menikah. Ikut
suamiku kelak, meninggalkan mereka.
Iya kalau suamiku kelak bisa
memenuhi balas budiku untuk mereka, kalau tidak?? Kalau akupun ternyata harus
banting tulang untuk kehidupanku sendiri dan anak – anakku kelak?? Lalu??
Buat
apa???
Iya mungkin alasan itu adalah salah
satu alasan sekaligus alibi kalau aku semakin tidak siap. Tidak siap karena
rasa keinginan itu gak tau hilang kemana. Tidak siap karena semua impian –
impian itu sudah tidak ada lagi di hati dan anganku. Tidak siap karena rasaku
tidak yakin. Alibi kalau rasaku sudah pindah....
Tadi pagi curhatanku dengan Tanti
dan Dyah, tentang pernikahan. Dyah yang sekarang memilih untuk tidak pacaran
sebelum “mereka” menikah dan Tanti yang zuudhon dengan kisah cintanya kalau-
kalau seperti kisah cintaku, karena dulu, aku pernah berada di posisi Tanti.
Dimana aku merasa betul - betul cinta, mengkhayalkan dan rasa yang begitu menggebu untuk
menikah.
Sampai pada curhatan itu terhenti
setelah disemprot Bu Ida, gara – gara tiga – tiganya gak nyatet dan gak ngerjain
soal yang dikasih bu Ida. Tibo apes,
yang lain banyak yang gak nyatet tapi kebetulan Bu Ida tanya sama kita #Diarrr
kowe ciaaahhh!!!
“Menikah”, kata yang bukan main –
main. Aku harus rela melepas kebebasanku untuk kata itu. “Bebas”.... bebas
untuk melakukan apapun selama masih mengikuti aturan yang ada, bebas memilih
selama memilih apa yang ada, bebas jadi diri sendiri selama mengikuti tata
krama yang ada. Apa itu yang disebut bebas?? Kesimpulanku, bebas itu omong
kosong. Bebas itu gak ada. Kita tidak hidup sendiri, kita hidup di antara
berbagai macam jenis orang – orang dengan sifat, sikap, ras, agama, golongan
dan semua perbedaan. Bagaimana kita bebas untuk hidup? Tuhan pun punya aturan
untuk hidup.
Ada yang harus dipertanggungjawabkan
nanti di hadapan-Nya tentang kebebasan itu. Aku pernah berfikir, seandainya
surga dan neraka itu tidak ada, maka orang akan bebas saling membunuh untuk
mendapatkan apa yang dia mau.
Kembali pada kebebasan dalam
pernikahan. Untuk aku pribadi, aku harus rela melepas kebebasanku untuk berhenti
main kesana – kemari sama siapa aja, rela melepas kebebasanku untuk gak blusukan
karena memang hobiku dan hobinya jauh berbeda. Kecuali kalau aku nikah sama
anak pecinta alam atau orang yang hobi blusukan juga :D. Apa aku harus nikah
sama anak pecinta alam atau orang yang se-hobi denganku seperti di SiapaJodohku untuk menemukan Kebahagiaan itu Seperti Apa?
Ada yang bilang, “Aku menyesal nikah
sama dia”....
“Aku
menyesal udah nikah muda”.
“Aku menyesal kenapa aku baru ketemu kamu
setelah aku sudah menikah”. Bla... bla.. bla... yang semua itu memiliki makna penyesalan.
Dan
aku gak mau itu. Apalagi tetang sebuah perceraian. Lalu kalau sekarang aku
tidak yakin dan kemudian aku menikah, apa yang akan terjadi?? Ah, aku tidak tau....
Ada
yang bilang “Menikah itu nikmat”.
Ada
yang bilang, “Enaknya nikah itu cuma 1 bulan pertama, setelah itu.... berat!!”
Ada
yang bilang,”Nikah itu 1 hari pertama adalah surga dan selanjutnya adalah neraka..”
Jangan sampe, amit amit :(
Lalu
ada yang pesan, “Besuk kalau istrinya ngambek, obat yang paling jitu adalah
uang. Wes terus mari,” Ah apa iya? Iya juga sih (pengalaman dari orang – orang
yang sudah menikah dan curhat sama aku).
Misalnya
lagi pada puncaknya merasakan jatuh cinta lalu menikah. Orang yang sedang jatuh
cinta itu gak ada alasan untuk gak suka. Tidak ada celah untuk benci karena
saat jatuh cinta, tai kucingpun rasa coklat. Tapi kalau cintanya itu udah
luntur?? Cinta pun bisa luntur, cintamu seperti bedak. Mudah luntur, #NahLoh
Nyimak catatannya Dyah tentang
“Menikah memuliakan Sunah”, iya benar. Tapi tetap saja, nikah itu butuh
bersiapan, siap ilmu, yakin, tekad, komitmen, siap dengan segala
konsekuensinya, finansial, dan bla bla bla....
Apa tujuan menikah? Menjadi keluarga
yang sakinah, mawadah dan warohma, doa itu selalu ada di setiap pernikahan. Salah
satu tujuan menikah adalah ketenangan. Menikah juga menjaga kesucian,
menghalalkan yang haram, menghalalkan kamu pegang tangannya, menghalalkan kamu
meluk dia, menghalalkan kamu... ah, kok serasa menikah itu cuma nuruti nafsu
aja.
Menikah juga membuat panggilan ayah
bunda itu keliatan cocok dan pas pada tempatnya. Bukan masih pacaran kok udah
ayah bunda, terus kalau udah nikah apa manggilnya?? Bapak simbok?? Atau kalau
putus terus ndes sama diap gitu yaa???
Menikah juga bebas mengumbar kata
sayang. Saling menjaga, melindungi, saling membantu, memahami hak dan kewajiban
masing-masing. “Istri adalah pakaian untuk suami dan suami adalah pakaian bagi
istri”. Ah, kok aku sepertinya sensitif sekali dengan kata “istri” ya :(
Pasangan kita adalah cerminan diri
kita sendiri, kata Diah. Jadi biar cerminan diri kita baik, maka kita harus
baik dulu, memantaskan diri. Ahh.... berattt!!!
Menikah untuk mencari kebahagiaan,
dan kebahagiaan itu tergantung ridho Tuhan. Bahagia tapi Tuhan gak ridho?? Berantem
terus tiap hari?? Ahh... kayaknya kok aku gak pantes banget ngomongin ridho-nya
Tuhan. Ah... aku memang tidak pantas :(
Kata Diah kalau Tuhan udah ridho,
jalan pasti ada, minta rumah, mobil. Jangankan mobil? Pesawat pun okeh kalau
Tuhan ridho. Tapi orang – orang terdekatku aja gak ridho apalagi Tuhan :(
Nikahi
wanita karena Bibit bebet bobot-nya, tapi yang paling penting adalah agamanya.
Nah,
masalahnya itu, aku lemah di ke empat – empatnya. Bibit? Aku gak cantik, dan
apakah aku bisa memberikan bibit yang baik?
Bebet?
Aku cuma anak petani. Bobot? Aku bukan anak orang kaya atau orang yang
terpandang. Agama? Iya sih pelajaran agamaku selalu dapet nilai baik. Tapi,
sholatpun aku sering telat, malah sering lupa. Baca Al Qur’an seminggu sekali,
itu pun jarang. Puasa senin – kamis aja kalau pas lagi pengen aja, padahal
kepengennya itu jarang. Cara berpakaianku pun tidak menandakan wanita muslim
sejati yang benar – benar menjaga auratnya, apalagi kelakuanku. Ah, genah penghuni neraka :(
Tapi
aku takut masuk neraka, tapi aku juga sadar aku gak pantas masuk surga :(
Katanya
cinta itu bisa timbul setelah menikah, karena “Witing tresno jalaran soko
kulino”. Itu kata orang – orang jaman dulu, yang dulu menikah karena
perjodohan. Buktinya mereka pada punya anak. Jal kalau gak cinta apa mau buat
punya anak?? Atau witing tresno mergo kepekso??
Kalau witing tresno mergo rupo, witing
tresno mergo bondo, witing tresno mergo tahto, witing tresno mergo wegah
rekoso, witing tresno mergo cidro, witing tresno mergo wudo #Eh, kui udu tresno
cah, yakin!!
Witing sengit mergo kulino itu juga
ada. Mungkin karena ketemunya itu itu aja :D, ojo ngasih ahhh....
"Witting tresno jalaran ra eneng
sik liyo". Ra eneng sik liyo koyo koe mas!!! Gak ada yang lain yang kayak
kamu!!!!
Hukum "Witing tresno jalaran seko
kulino” itu gak sepenuhnya berlaku. Kalau udah gak suka ya gimanapun tetep gak
suka. Itu kalau aku.
Tapi
“Witing tresno jalaran seko kulino” itu juga berlaku kalau keadaan dan cara
“mengulinakan-nya” itu tepat, kayak perhatian dan sebagainya, namun kadang
tresno itu bukan pada tempatnya. Karena ada, cinta itu berada di waktu dan
tempat yang salah.
Tapi
ada kata pacaran setelah menikah. Cerita dari tetanggaku, sebut saja Mbak
Linda, beliau menikah itu tanpa ada rasa cinta, tapi setelahnya, setelah menikah
itu rasa cintanya itu lebih waowwwwww. Dan itu nikmatnya pacaran setelah menikah.
Apa mau mencoba pacaran setelah menikah?? Eh, menikah kok coba – coba!!
Jadi,
mungkin kalau cowok belum siap menikah karena dia belum yakin kalau dia bisa
bertanggung jawab secara lahir dan batin, batinnya sih udah, lahirnya itu,
finansialnya itu. Eh, bukannya menikah itu adalah sebuah keberkahan. Katanya
rezeki orang menikah itu lebih luar biasa :).
Kalau
aku, belum siap menikah karena aku takut, aku tidak yakin dan aku ingin yang
lain. Ada sholat istiqaroh untuk memantapkan itu, minta sama Tuhan untuk
keyakinan itu, meminta Tuhan untuk memantapan hatiku.
Tapi
kalau saja, ada yang bilang “ana uhubbuki filla.... aku mencintamu karena
Allah”, dengan sepenuh hati. Mungkin aku akan menjawab “Ya, aku siap untuk
menikah”.
Sekarangpun
aku siap!!! :)
Siapa ya orang yang akan menikah
denganku kelak, orang yang akan bilang “Kamulah tulang rusukku”, orang yang
bisa menjadi imam dunia akhiratku. Siapa ya?? Kamu mungkin, iya aku pengennya
kamu :)
Siapa ya?? Kamu mungkin, iya aku pengennya kamu :) <== ini buat siapa mbak ..? (gak mungkin kan buat aku :D )
BalasHapusjadi begini mbak mutia yang cantik dan baik, menikah adalah sebuah keputusan yang tidak main2, karena menyangkut kebahagiaan kita di dunia dan di akhirat,
jodohmu adalah cerminan dirimu, aku sangat setuju. namun kita juga tidak bisa memaksakan ternyata bahwa pasangan kita harus satu hoby/profesi/minat/segalanya justru dg perbedaan yg ada hubungan nanti terasa tidak flat (mbak pipit says)
eh mbak mutia, udah denger berita belum aku insyaAllah lebaran ini mau tunangan lho, doakan lancar ya mbak
Buat yang merasa :)
BalasHapusAku gak mengharuskan untuk sehoby, seprofesi atau segalanya sama lho... Nek perbedaan membuat tidak terasa flat aku GAK SETUJU, ex : perbedaan agama, perbedaan cara pandang, ataupun yang perbedaan yang bikin bertengkar dan semua itu membuat hidup gak flat lhoo, tapi mau hidup gak flat dengan perbedaan yang seperti itu?? perbedaan yang memicu pertengkaran?? Mau?? :)
Menurutku perbedaan itu bukan membuat tidak terasa flat, tapi dengan perbedaan maka akan dapat SALING MELENGKAPI DAN SALING MENGISI satu sama lai. Disitulah nantinya yang akan menjadi indah dan nikmatnya sebuah hubungan, dimana sebuah kekurangan/perbedaan menjadi kelebihan jika kita ikhlas, tulus dan yakin karena Allah :)
Dan selamat mas, semoga lancar, semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah :)
buat yang menjadi tema twitt aku pagi tadi ya ..? soal rasa penasaranku siapa seseorang itu ya atau buat yang lain (bukan bermaksud kepo lho, cuma pengen tahu hehehe)
Hapuswah ternyata mbak mutia lebih bijak dalam menyikapi hal ini,jadi malu aku udah merasa lebih dewasa, :-)
aamiin, makasih mbak atas doanya semoga demikian pula, mbak mutia mendapatkan seorang suami seperti apa yang di idam2kan dan tentunya dan yang paling penting mendapat suami yang soleh aamiin
biarlah waktu yang menjawab :)
Hapusaku itu cuma anak kecil yang sok dewasa mas :)
gak tau tapi sok tau
amiiiiinnnnn.... seorang lelaki yang akan bilang "aku mencintaimu karena Allah :)
amiiiinnn, semoga :) *meskipun itu kemungkinan kecil, tapi seribu kemungkinan itu ada :)
wahh itu yang witing tresno jalaran seko kulino, kalo saya w(a)itig tresno jalaran ono sing liyo
BalasHapusw(a)iting tresno jalaran ono sing liyo = nunggu tresno mergo tresnone mau direbut tresno sik liyo. #NahLoh pie kui mas hahah :D
Hapushmmm, maaf ya mbak Mutiya sbagai pengunjung blogmu yg baru skali ini mrene aq ikut nimbrung
BalasHapusPertama Mbak Mut, dirimu beruntung, parasmu ncen ayu, yo mesti onolah sing gelem ro dirimu, minimal lima sing dirimu sebut kae. Maaf, iki aq ra "melecehkanmu" lho mung iki gur bukti ben dirimu yakin atau percaya diri nek "jodohmu" kuwi mestine gampang le nggolek (#koyo opo wae).
Kedua Mbak Mut, dirimu kie nduwe potensi. Foto-fotomu apik. Kui iso dirimu asah ben dadi luwih apik. Ben dadi senjata sampinganmu (selain ilmu gaya, momentum, po impuls) nggo ngolek duwit nggo ngewangi wongtuamu.
Ketiga Mbak Mut, sing terakhir, dirimu kie uripe ng Jogja. Iki istimewa mbak. Percaya wae mbak, nek dirimu tenanan membaktikan diri ke Jogja, Insya Allah Jogja bakal nguripi dirimu mbak. Rejekimu ra bakal ngendi-ngendi mbak.
Oke mbak Mut? Mung dirimu thok sing ngerti dirimu dewe. Nuwun ngapunten.
mantabb!!!!
Hapusamiinnnnnnn *ngejak salaman mas Wihikan Mawi Wijna*, jenengmu kok angel men diwoco mas :D