Mutia Kymoot Thanks God, I'm sweet. Engkau sungguh Maha Indah, indahkanlah aku, Tuhan.

Rabu, 01 Mei 2013

Jawaban Pertanyaan “Kemanakah Cintaku?”


Alhamdulillah...
Berangsur – angsur kesadaran dan kondisi fisik adek membaik. Setelah hampir 3 minggu, kita berjuang bersama. Adek, mamak, bapak dan aku.
            Ujian dari Allah yang luar biasa.
            18 April 2013
14.00 WB
Sepulang dari ngampus, rumah sepi. Hanya ada budhe yang berdiri di depan rumah, yang tak kirain lagi nyari keisha, keponakanku.
            Setelah turun dari motor, budhe bilang,”Nduk, tak kasih tau.... tapi kamu jangan  nangis, si muklis tabrakan tadi sepulang sekolah.”
            Deg.... Tabrakan? Dimana? Kapan? Terus sekarang dimana?

            “di Tompak (Perempatan Patuk ke arah utara, belokan depan Toko, timur Gilingan, sebelah barat rumah orang kaya), kata orang tabrakan sama truk tangki, tadi di bawa ke puskesmas tapi puskesmas angkat tangan dan belum tau sekarang dibawa kemana, sama mamak sama bapak.” kata Budhe. “Udah sekarang kamu makan dulu. Pasti belum makan kan? Gek ayo ketempat budhe biar ada temennya, ntar nek udah ada kejelasan posisinya kita cari,”. Aku tak bergeming, perlahan air mataku menetes, lalu mengalir dengan derasnya. Ya Allah, apa – apaan ini. Persendiranku lemas, tubuhku terkulai di tanah, kakiku tak kuat untuk berdiri, aku terhuyung menuju kamar. Aku harus bagaimana? Dimana kamu dek?
            Ku dengar adzan ashar berkumandang, ku ambil air wudhu. Dalam sujudku aku memohon hanya kepada-Nya. Semua baik – baik saja.
            Selesai sholat, aku terdiam sejenak. Aku harus kemana? Terbersit di otakku. Puskesmas. Segera kupacu kuda hitamku. Di puskesmas segera ku cari info tentang adekku.
            “Iya mbak, tadi ada yang kecelakaan dibawa kesini, pasien bernama Mukhlishin. Tapi ini belum tau dibawa ke RS mana mbak, soalnya masih nyari ruang kosong. Dan sekarang dalam perjalanan ke RS Sardjito, tapi juga belum pasti mbak.” Ingin aku berteriak memarahi wajah di depanku itu. Ingin ku tampar dia. Apa – apaan? Nyari ruang? Gak jelas!!!
            Lalu kupacu kembali kuda hitamku, dengan air mata yang belum berheti mengalir, dengan fikiran yang berkecamuk, kemungkinan yang bermacam – macam, otakku pun tidak konsentrasi dengan jalan didepanku. Biarlah. Aku hanya ingin segera mendengar kabar tentang adekku. Kabar yang baik tentunya.
            Sampai disana, aku segera mencari info tentang adekku. Dan setelah beberapa lama, kudapati mamak. Terduduk dilantai ruang IGD RS Sardjito dengan bekas air mata, mata yang sembab, wajah yang pucat dan tergambar jelas kecemasan di wajahnya. Ku amati sekeliling. Hanya ada baju seragam biru putih. Ya itu seraganya adek. Baju putih yang berubah warna menjadi merah, merah darah. Mana adekku?
            “Lagi dirongsen,” jawab mamak lirih. Aku terdiam, ku peluk mamak. Kami terisak. Menunggu. Aku benci menunggu seperti ini. Tanpa kepastian.
            Jam sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB. Adekku pulang sekolah sejak pukul 13.00 WIB tadi. Aku sampe RS udah sejak pukul 15.00 WIB tadi. Lama. Aku benci ini. Rongsen yang berlangsung sangat lama.
            Sekitar pukul 18.30 WIB, kulihat adekku tergolek tak sadarkan diri di atas ranjang. Dengan separuh wajah yang tak berbentuk, lecet, memar dan terlihat daging yang tampak putih dengan bekas bekas darah masih tersisa. Kepala yang sudah tidak simetris lagi. Bibirnya terluka, giginya patah, janggutnya sobek. Kaki yang penuh luka dan tangan yang diapit oleh dua balok kayu. Tubuhnya yang terkadang kejang – kejang. Bunyi alat pemacu detak jantung nut...nut...nut.... Ya Allah, aku gak tega liat dia!!! Ya Allah, ujian apa yang Engkau berikan. Aku berlari keluar dari gedung IGD. Tangisku pecah, hatiku terkoyak. Apa apaan ini? Hujan pun sedang turun. Deras. Aku terisak, air mataku semakin deras mengalir. Aku gak kuat!!!
            Aku menangis tersedu. Meratapi apa yang telah terjadi. Adek, kenapa kamu kayak gini? Kamu kan udah tak kasih tau? Jangan kenceng – kenceng kalo naik motor, pake helm. Tapi kamu gak memperhatikan apa kata mbak!!!
            Ku temui bapak. Tersirat ketabahan diwajahnya. Iya, Bapak yang tanpa sebutirpun meneteskan air mata. Tapi aku tahu, hatinya teriris. Ku peluk dia, aku terisak dipundaknya.
            “Bapak, Mbak, ini Mukhlishin harus segera dioperasi. Karena kalau tidak segera, ditakutkan akan ada infeksi. Tapi karena kondisi kepala yang terkena benturan keras dan ada pembengkakan pada otak, meskipun tidak terjadi pendarahan. Ada kemungkinan resiko obat bius itu berakibat pada pasien meninggal di meja operasi. Kita tetap mengusahakan, tapi kita memberi tahu dulu kepada keluarga dengan kemungkinan terburuknya.” Kata dokter bedahnya.
            Ya Allah, apalagi ini. Aku gak mau kehilangan adek. Adekku satu – satunya. Adek yang tak ajak kemana mana kalo aku gak ada temen main. Air mataku belum berhenti mengalir sejak kudengar kabar kecelakaan tadi, dan sekarang semakin deras.
            “Ya udah dok, jika memang itu adalah jalan terbaik untuk menyelamatkan putra saya, silahkan. Semua saya serahkan ke dokter. Jika memang kemungkinan terburuk itu terjadi, semua itu milik Allah, semua akan kembali kepada-Nya. Tapi saya mohon dok, lalukan yang terbaik,” kata Bapak dengan tabahnya. MasyaAllah Bapak. Disini aku benar- benar melihat sendiri, ketabahan bapak, aku ingin bisa seperti anda pak!! Tapi aku gak bisa!! Aku gak mau kehilangan adek.
            Menit demi menit berlalu. Dokter sudah siap dengan alat – alatnya, tinggal menunggu obat bius untuk operasi adek. Disaat menunggu itu, muncul seorang pemuda yang mengaku sebagai anak dari bapak yang menabrak adekku. Dia datang dengan baik. Meminta maaf. Mengajak berembuk secara kekeluargaan tapi dengan nada mengancam, “... kalau di bawa ke jalur hukum adeknya belum punya SIM, tidak membawa surat – surat, tidak memakai helm, melanggar marka dan juga polisi yang mengurus truk tangki sama motor itu temannya bapa.” Shit!!! Secara kekeluargaan dengan nada mengancam!!! Ingin rasanya aku mematahkan lehernya, meremukan wajahnya, mata dengan sorot rasa simpati yang dibuat – buat, dan bibir yang dengan manisnya berucap seperti ini. Ingin ku bunuh dia!!! Kamu gak liat adekku kayak gitu!!!
            Tapi bapak berbeda dengan aku. Dengan sabar dan tabahnya, beliau mengeja kata demi kata, bapak tidak mepermasalahkan itu, yang terpenting sekarang, putranya baik – baik saja. Udah itu aja. MasyaAllah, kesabaran yang luar biasa. Seandaikan tadi tidak ada bapak disampingku, sudah kuremukkan wajahya.
            Lalu datang Pakdheku dengan mas Endra, temennya bapak yang nganterin pakdhe. Pakdheku pun gak tega melihat kondisi adek. Pakdhe yang posisinya adalah seorang ahli agama, tidak tega. Apalagi aku, aku yang bukan apa – apa. Lalu datang juga Pak Sagiran, Pakdhe Suhar, Pak Udin, Lek Ponidi dan Lek Yatno. Menanyakan bagaimana semuanya. Pak Udin tanya bagaimana kejadiannya, lalu aku ceritakan apa yang dibicarakan anak dari penabrak tadi.
“Loh mbak, kok ceritanya beda. Ini tadi aku dapet cerita dari warga, tangki itu baru aja nyalip Mbah Eni, Mbesi, dan Dek Mukhlis muncul dari arah depan. Jadi tangkinya itu juga melanggar marka. Wong mbak Eni liat langsung, sempet njerit manggil nama Mukhlis gitu.” Apa?? Jadi mulutnya anak si penabrak tadi cuma bulshit!!! Kurang ajar!!! Rasanya ingin aku ketemu dia lalu menyobek mulutnya itu. Tapi ya sudahlah. Tak usah mempermasalahkan itu mut!! Adekkmu mut!!! Liat kondisi adekmu, itu yang terpenting. Iya, dan semua kembali menunggu.
            Kita menunggu. Menunggu lagi. Aku benci ini. Aku tidak tega mendengar erangan kesakitan yang keluar dari mulut adekku. Dia minta minum dan gak boleh minum sama dokter. Aku yang tadinya mau minum, kerongkonganku tersekat, tidak mampu menelan air putih. Aku gak tega. Iya, mbak gak akan minum dan makan sampai kamu bisa makan dan minum dek!!!
Sampe pada waktu adekku masuk keruang operasi. Pukul 22.00 WIB. Aku terus memandanginya sampai pintu ruang operasi itu menutup. Adek, berjuanglah!! Mbak berharap banyak denganmu!! Kamu kuat dek!! Kamu bisa!!
            Kulihat mamak terduduk lemas di depan kamar operasi. Wajahnya yang penuh dengan kecemasan. Air matanya yang berusaha ia tahan itu terkadang menetes. Bapak duduk disampingku, dengan lidah yang tidak berhenti berdzikir.
Aku yang berada ditengah – tengah mereka. Memeluk mereka, berusaha menahan air mata. Aku ingin menguatkan mereka. Meskipun aku sendiri tidak bisa menguatkan diriku sendiri. Kita menunggu lagi. Menunggu proses operasi selesai. Aku benci dengan kata “menunggu”.
Memang waktu sejak aku mendengar kabar kalau adekku kecelakaan, aku ngetwit dan beberapa teman menanyakan keadaannya. Mereka bilang “Mutia yang sabar ya, Mutia yang kuat ya....” Ingin ku tampar mulut manis mereka. Mudah sekali bilang sabar... sabar... sabar.... Kalian tidak merasakannya!!!
Ingin aku ada seseorang yang bisa menenangkanku. Sosok yang melindungiku. Sosok yang bisa kujadikan sandaran untuk menyandarkan kepalaku. Memelukku, menenangkanku.... Tapi siapa? Gak ada!!!
Dini hari.... Pukul 02.30 WIB, dokter keluar dari ruang operasi. Aku tidak tau apakah itu sudah selesai atau belum. Suara alat memacu jantung terdengar jelas di teligaku, menggema di ruang itu dan lorong gedung IGD.
Aku berlari keluar lagi, menuju halaman gedung IGD. Dalam gelap, dalam kalutku, dalam gundahku, dalam emosiku, dalam sedihku, aku menangis tersedu. Datanglah sahabatku, Tanti bersama mas Syarif, pacarnya yang memang ikut menunggu proses operasinya adek. “Mutia gak boleh nangis, Mutia harus kuat. Mana Mutia yang kuat, mana Mutia yang selalu optimis. Ayolah mut, masuk, kita tunggu adekmu, adekmu sudah selesai operasi, tinggal menunggu siuman. Percayalah dan mari kita berdoa, semoga semua baik – baik saja,” kata Tanti. Aku semakin terisak, Tanti lah yang memelukku. Mengusap air mataku. Dia pun ikut menangis bersamaku. Iya, sahabatlah yang menjadi sandaranku.
Aku memasuki ruang operasi. Melihat adekku tergeletak tak sadarkan diri. Kata bapak sudah selesai operasi. Tapi aku belum lega. Rasa takut masih menghantuiku. Orang – orang yang ikut menunggu proses operasi adekku udah pamit pulang, lalu Tanti dan pacarnya juga.
Aku sendiri lagi. Hanya dengan mamak. Wajahnya masih saja tergurat kecemasan yang mendalam. Iya seperti aku, tapi pasti kecemasan itu melebihi kecemasanku. Putranya. Darah dagingnya. Kini tergeletak diruang depan sana.
Aku berusaha menjadi kuat, ku rayu mamak dan bapak agar mau minum dan makan. Bapak mau makan dan minum karena bapak tau, karena seorang lelaki itu memang mengedepankan logika sedangkan wanita mengedepankan perasaan. Wajar. Aku tadipun begitu. Tapi aku gak mau lemah. Aku kuat. Aku bisa. Aku pun meneguk air putih dan memakan beberapa kue.
Tapi beda dengan mamak. Sejak tadi siang sampai sekarang belum setetes air pun masuk ke kerongkongannya. Belum sebutir nasipun masuk ke perut beliau. Ku tenangkan dia,” Mak, ayo minumlah sedikit saja. Nanti sakit. Mukhlis sudah selesai operasi. Dan semua baik baik saja. Tinggal menunggu sadar mak. Kalau mamak gak makan nanti sakit. Kalau mamak sakit nanti yang ngurusi adek siapa mak? Yang nunggu orang sakit itu gak boleh sakit mak. Harus sehat mak!!,” baru mamak mau minum seteguk air putih dan memakan sebuah kue.
Pukul 04.30 WIB, Mukhlis dibawa ke ruang radiologi. Dirongsen lagi. Dan baru selesai sekitar pukul 06.00 WIB.
Pagi itu kulangkahkan kaki. Mencarikan sarapan untuk mamak dan bapak yang menunggu Mukhlis mendapatkan ruang, karena masih di letakkan di bagian IGD. Aku mengurus semua administrasinya. Sampai pukul 10.00 WIB, muklis dapet kamar di ruang IMC.
Adekku dari kemarin teriak – teriak kesakitan dan terkadang tubuhnya kejang – kejang. Aku takut. Dan hari – hari terus berlanjut. Masih menunggu adek. Bapak yang sempat 2 hari 2 malam tidak tidur, mamak yang nafsu makannya berkurang, aku yang dibantu sama Lek Yatno, kesana – kemari mencarikan apa yang mereka butuhkan. Iya, kita bersama menjalani semua ini. Kita pasti bisa.
Iya aku ngomong ngomong “aku pasti bisa, aku pasti kuat”, tapi ketika gelap datang. Ketika semua orang sudah terlelap. Aku masih terjaga. Termenung di sudt gelap. Sendirian. Aku wanita. Hatiku berbisik, aku butuh sosok lelaki yang mampu menangkanku, menemani malamku, membantuku menyiapkan apa yang mereka butuhkan. Ah... tapi itu semua hanya dalam bayanganku saja. Iya aku anak pertama, Anak pertama yang harus bisa melindungi adekku, yang bisa menjaga mamak dan bapak. Tapi aku perempuan.
Yah... Mutia itu seorang perempuan. Perempuan yang harus berperan sebagai sosok lelaki disini. Melindungi semuanya, mengurus semuanya, menyiapkan semuanya, semua apa yang mereka butuhkan. Aku bisa. Aku harus bermental seperti laki – laki. Yang kuat. Yang mengedepankan logika. Bukan perasaan.
Selama nungguin adek, aku menjadi seorang wanita yang pemberani dan gak punya rasa malu. Mutia yang dulu takut gelap, yang dulu kalau pengen pipis aja harus mbangunin mamak buat nemenin ke kamar mandi. Semenjak nungguin adek, Mutia kemana – mana sendiri. Tengah malam aku harus mencari air panas, nyari apa yang dibutuhkan adek, aku melangkahkan kakiku sendirian. Tanpa memperdulikan sekelilingku. Aku nyariin makanan buat bapak sama mamak sendiri, tidurpun sendiri. Karena aku gak bisa tidur dekat adek, aku gak tega denger erangan sakitnya. Dan aku memutuskan untuk tidur di masjid sebelah selatan RS, masjid yang cukup sepi.  Beberapa malam aku tidur disitu. Kadang aku juga tidur di kursi – kursi tunggu, kadang juga aku cukup berbaring dilantai lorong RS yang sepi. Cukup pake jaket, kaos kaki, lalu kukup sarung dan bantalan tas. Aku pasrahkan semuanya sama Allah, ada malaikat yang menjagaku, ada Allah yang tidak pernah tidur, pasti Dia akan melindungiku. Sampai waktu itu bapak pasien samping adekku dan  bapak susternya bilang, “mbak ini berani banget ya, kemana – mana sendiri, tidur di sembarang tempat”. Karena keadaan pak.
Aku tidak malu untuk bertanya ini itu jika ada yang kurang jelas. Aku gak malu makan diangkringan bareng cowok – cowok. Dateng di angkringan, ngambil nasi, makan tanpa peduli mereka. Aku tidak malu berjalan kesana kemari sendirian mencari apa yag mereka butuhkan. Aku selalu mencarikan makanan yang terbaik untuk mamak bapak, makanan yang harus menggugah nafsu makan mereka.
Aku kesana kemari, mencari dan mengurus semuanya. Aku gak peduli lelahku. Aku gak peduli kakiku yang membengkak dan terasa sangat sakit. SDlam fikiranku, ini belum seberapa dari sakit yang ditanggung adek, belum seberapa dari apapun yang ditanggung mamak bapak. Apapun, buat mereka akan aku lakukan. Akan aku carikan apa yang mereka butuhkan. Sekalipun aku harus merangkak.
Pagi nyariin air panas sama sarapan bapak mamak, sekaligus buat makan siang nanti, lalu ke kampus, meskipun beberapa kali ijin, siangnya pulang ngambil ganti buat mamak bapak, sama ngurus rumah, simbah yang sedang sakit stroke, sapi dan kambing, sore ke RS nganterin makanan buat mamak bapak, lalu nggantiin mereka nungguinn adek. Yah, selama 9 hari. Rutinitasku seperti itu
Sampai pada hari Jumat 26 April 2013. Bapak tadi malam jatuh dari kursi gara – gara tertidur dan ambruk. Bapak bilang udah gak kuat. Dua hari dua malam adekku gak tidur. Secara fisik adekku sadar, melek, tapi dia tidak sadar kalau dia sakit, teriak – teriak, ngigo dan ngomyang. Setelah dokter utama visit, dokter bilang adek boleh pulang.
Adekku sudah dibawa pulang, meskipun kesadarannya belum pulih. Otak, fikiran dan tubuhnya tidak sejalan. Dia pengen melakukan apa yang biasa dia lakukan, tapi kalau berdiri dia ambruk, kalau dilarang dia misuh – misuh dan ngamuk. Ya Allah, cobaan apa lagi ini. Aku takut di kayak gini terus. Aku takut kesadarannya gak pulih. Sampai aku bingung, emosi, mamak bapak tidak pernah tidur, aku juga mau ujian.
Tapi alhamdulillah.... Perlahan – lahan semua membaik.
Bukan hanya karena obat dari dokter, tapi juga obat cina yang dicarikan oleh leh Yatno, adek cepat membaik. Tapi semua itu tidak lepas dari doa kalian. Doaku, doa bapak, doa mamak. Dan semua tidak lepas dari kuasa Allah SWT. Allah yang Maha Penyayang, aku yakin ujian ini ada karena Allah sayang sama kita. Sayang sama adek. Allah yang Maha Tahu, Allah yang Maha Menyembuhkan, Allah Yang Maha Kuasa. Alhamdulillah ya Allah....
Dan terimakasih, atas doa dan perhatian dari bapak – bapak, Tanti sama mas pacar yang ikut nungguin pas adek operasi. Keluarga – keluarga yang lain, saudara – saudaranya bapak dan mamak, keluarga besar dari Jatikuning, keluarga dari Cithakan, keluarga dari Pekalongan, keluarga dari Pacitan dan juga keluarga besar dari Mbayat. Mas Endra dan temen – temen bapak. Mas Salim dan mbak Umi sama dek Afika, pak Rahmat, Bu Amin, Mas Anton. Teman – teman kampus yang diwakili Dyah, Emy, Ogy, Dita, Boim, Iyan dan Tanti, yang ikutan njenguk lagi setelah tadi malam nemenin aku. Mas Fosil yang udah 2 malam nemenin aku nungguin adek, mas Ganef, Bapak – bapak dan Ibu – Ibu dusun Jatikuning baik dari jamaah masjid Muttaqien, masjid Utamajati ataupun masjid Al Hajar Aswad. Teman teman Wonosari.com, mbak Pipit, mas Nanang, mas Iwan Dhana, mbak Devita, Mas Wawan, mas Tri dan mas mbak yang belum kesebut, maaf waktu njenguk gak ketemu karena pas aku pulang ngambil baju ganti buat mamak bapak. Teman – teman Risma Muttaqien dan adek – adek TKA – TPA masjid Muttaqien. Mas Cemy, mas Supran, mas Wahid dan mbak pacar. Temen OSPEK-ku, Arif, angga dan wulan. Mas Danu dan pacarnya, Dyah yang njengukin adek lagi. Mas Aris, mas mantan yang njengukin adek juga, kita lama gak ketemu ya. Bapak – bapak Ibu – ibu dan teman – teman adekku yang njengukin dirumah, Dan semua teman – teman yang mengirimkan doa untuk adekku. Terimakasih semuanya.
Maaf kalau kemarin dalam kalutku, aku meragukan semua perhatian dan simpati kalian.
Semua kejadian pasti ada hikmahnya, semua ujian dari Allah pasti mengandung hikmah yang luar biasa. Dan memang benar.
Aku yang dulunya gak pernah pegang arit, karena kejadian ini aku jadi mau ngarit. Mau ngambil damen di atap kandang yang pake manjat dan agak susah, gatel lagi. Mau masak air buat minum sapi sama kambing, terus ngubleg dedak juga buat campuran minumnya sapi, yang dulunya aku jijik ngelakuin kayak gitu.
Mutia jadi mau pegang sapu, yang dulu males nyapu, Mutia jadi mau nyuci gelas piring yang dulunya jijik kalau nyium bau dari tumpukan gelas piring kotor.
Mutia jadi lebih bisa menghargai sesuatu, lebih mempunyai rasa peduli, lebih mempunyai rasa sopan. Dan Mutia menjadi lebih kuat. Mutia menjadi wanita yang kuat. Mutia belajar apa itu sabar, apa itu tabah dan segalanya itu.
Dan yang luar biasa. Mutia mau masak!!!
Mutia masak!!
Mutia yang gak pernah masak, gak pernah masuk dapur. Setelah kejadian itu, Mutia jadi masak nasi (meskipun kadang – kadang kurang tanak), Mutia jadi masak air... biar mateng (gak gosong kok), Mutia jadi mau pegang wajan, goreng tempe telur. Mutia jadi masak sayur, yang gak pernah masak sayur, yang dulunya cuma liat dan ngrecokin mamak, jadi kurang tau bumbu – bumbunya, udah bisa nyayur lodeh sama gule loh....
Mutia mau kena angus hitam – hitam, karena memang masak dirumah gak pake kompor, jadi masih pake tungku dengan bahan bakar kayu. Yang bikin apinya kadang susah banget kalau kayunya agak basah, mati – mati terus gitu.
Luar biasanya, aku gak ada beban sama sekali buat ngelakuin semua itu. Yang dulunya kalau gak disuruh gak mau, kadang disuruh pun pura – pura gak dengar, jawab dengan nada keras dan gak mau.
Dan satu lagi, Mutia jadi rajin sholat malem, Mutia jadi semakin dekat dengan Allah, yang sebelumnya mulai menjauh karena sibuk memblusuk. Di setiap sujudku, satu doaku, sembuhkanlah dia ya Allah. Itu saja.
Allah Maha Mendengar, Allah mengabulkan doaku. Doa dari seorang pendosa sepertiku. Ketika berdoa, aku merasa tidak pantas memohon, tidak pantas bersujud dihadapan-Nya. Aku merasa, kalau aku tidak punya rasa malu untuk memohon bersujud meminta kepada-Nya. Karena dosaku terlalu banyak, aku sadar itu. Tapi Allah Maha Penyayang, Allah sayang sama adek, sama mamak, sama bapak, sama aku, sama kita.
Ku buka album lama, tentang aku dan adekku, kebersamaan kita :). Maaf kalau mbak dulu sering marah – marahin kamu dek, mbentak – mbentak kamu, nyuruh kamu ini itu. Mbak udah janji ya, besuk kalau kamu udah sembuh total mbak mau ngajakin kamu beli tas sama sepatu :)
Mbak sayang kamu dek. Mbak pengen kamu segera sembuh dek, kita jalan – jalan lagi, jajan mie ayam lagi, gojekan lagi, poles polesan lagi, kejar kejaran ngubengi kebon lagi, foto – foto lagi :)












Mbak rindu tawamu dek :)
 Aku sayang mamak, mamak yang kuat, wanita perkasa, kuat nggendong rumput yang berat dari ngalas yang jaraknya berpuluh – puluh kilo meter. Meskipun mamak sering marah –marah, tapi terkadang aku yang salah dan egois. Maaf mak.


Aku sayang Bapak. Pemimpin yang luar biasa dalam keluarga. Sosok panutanku, sosok yang begitu aku kagumi, sosok yang tabah, sabar dan imam dunia akhirat dalam keluarga kita. Bapak yang menguatkanku “Allah tidak akan memberikan ujian yang melebihi kemampuan kita, Allah tidak akan memberikan cobaan yang melewati batas kemampuan kita”. Iya pak, aku yakin itu. kita bisa pak!!




Dan setelah ujian ini. Aku jadi tau, aku menemukan jawaban dari pertanyaan “Kemanakah Cintaku?”
Iya, cintaku ada pada keluargaku. Rasa takut kehilangan, rasa ingin selalu menjaga mereka, rasa ingin selalu melindungi mereka, rasa rela untuk melakukan apapun demi mereka, demi mereka sehat dan bahagia. Iya, inilah cintaku, disini cintaku, di keluarga sederhana ini. Keluarga sederhana yang luar biasa. Mereka yang ingin aku jaga dan aku lindungi. Cintaku ada pada mereka. Pada adek, pada mamak dan bapak. Aku cinta kalian. Aku sayang kalian :)

4 komentar: