Alhamdulillah...
Berangsur
– angsur kesadaran dan kondisi fisik adek membaik. Setelah hampir 3 minggu,
kita berjuang bersama. Adek, mamak, bapak dan aku.
Ujian dari Allah yang luar biasa.
18 April 2013
14.00
WB
Sepulang
dari ngampus, rumah sepi. Hanya ada budhe yang berdiri di depan rumah, yang tak
kirain lagi nyari keisha, keponakanku.
Setelah turun dari motor, budhe
bilang,”Nduk, tak kasih tau.... tapi kamu jangan nangis, si muklis tabrakan tadi sepulang
sekolah.”
Deg.... Tabrakan? Dimana? Kapan?
Terus sekarang dimana?
“di Tompak (Perempatan Patuk ke arah
utara, belokan depan Toko, timur Gilingan, sebelah barat rumah orang kaya),
kata orang tabrakan sama truk tangki, tadi di bawa ke puskesmas tapi puskesmas
angkat tangan dan belum tau sekarang dibawa kemana, sama mamak sama bapak.” kata
Budhe. “Udah sekarang kamu makan dulu. Pasti belum makan kan? Gek ayo ketempat
budhe biar ada temennya, ntar nek udah ada kejelasan posisinya kita cari,”. Aku
tak bergeming, perlahan air mataku menetes, lalu mengalir dengan derasnya. Ya
Allah, apa – apaan ini. Persendiranku lemas, tubuhku terkulai di tanah, kakiku
tak kuat untuk berdiri, aku terhuyung menuju kamar. Aku harus bagaimana? Dimana
kamu dek?
Ku dengar adzan ashar berkumandang,
ku ambil air wudhu. Dalam sujudku aku memohon hanya kepada-Nya. Semua baik –
baik saja.
Selesai sholat, aku terdiam sejenak.
Aku harus kemana? Terbersit di otakku. Puskesmas. Segera kupacu kuda hitamku.
Di puskesmas segera ku cari info tentang adekku.
“Iya mbak, tadi ada yang kecelakaan
dibawa kesini, pasien bernama Mukhlishin. Tapi ini belum tau dibawa ke RS mana
mbak, soalnya masih nyari ruang kosong. Dan sekarang dalam perjalanan ke RS
Sardjito, tapi juga belum pasti mbak.” Ingin aku berteriak memarahi wajah di
depanku itu. Ingin ku tampar dia. Apa – apaan? Nyari ruang? Gak jelas!!!
Lalu kupacu kembali kuda hitamku, dengan
air mata yang belum berheti mengalir, dengan fikiran yang berkecamuk,
kemungkinan yang bermacam – macam, otakku pun tidak konsentrasi dengan jalan
didepanku. Biarlah. Aku hanya ingin segera mendengar kabar tentang adekku.
Kabar yang baik tentunya.
Sampai disana, aku segera mencari
info tentang adekku. Dan setelah beberapa lama, kudapati mamak. Terduduk dilantai
ruang IGD RS Sardjito dengan bekas air mata, mata yang sembab, wajah yang pucat
dan tergambar jelas kecemasan di wajahnya. Ku amati sekeliling. Hanya ada baju
seragam biru putih. Ya itu seraganya adek. Baju putih yang berubah warna
menjadi merah, merah darah. Mana adekku?
“Lagi dirongsen,” jawab mamak lirih.
Aku terdiam, ku peluk mamak. Kami terisak. Menunggu. Aku benci menunggu seperti
ini. Tanpa kepastian.
Jam sudah menunjukkan pukul 18.00
WIB. Adekku pulang sekolah sejak pukul 13.00 WIB tadi. Aku sampe RS udah sejak
pukul 15.00 WIB tadi. Lama. Aku benci ini. Rongsen yang berlangsung sangat
lama.
Sekitar pukul 18.30 WIB, kulihat
adekku tergolek tak sadarkan diri di atas ranjang. Dengan separuh wajah yang
tak berbentuk, lecet, memar dan terlihat daging yang tampak putih dengan bekas
bekas darah masih tersisa. Kepala yang sudah tidak simetris lagi. Bibirnya terluka,
giginya patah, janggutnya sobek. Kaki yang penuh luka dan tangan yang diapit
oleh dua balok kayu. Tubuhnya yang terkadang kejang – kejang. Bunyi alat pemacu
detak jantung nut...nut...nut.... Ya
Allah, aku gak tega liat dia!!! Ya Allah, ujian apa yang Engkau berikan. Aku
berlari keluar dari gedung IGD. Tangisku pecah, hatiku terkoyak. Apa apaan ini?
Hujan pun sedang turun. Deras. Aku terisak, air mataku semakin deras mengalir.
Aku gak kuat!!!
Aku menangis tersedu. Meratapi apa
yang telah terjadi. Adek, kenapa kamu kayak gini? Kamu kan udah tak kasih tau?
Jangan kenceng – kenceng kalo naik motor, pake helm. Tapi kamu gak memperhatikan
apa kata mbak!!!
Ku temui bapak. Tersirat ketabahan
diwajahnya. Iya, Bapak yang tanpa sebutirpun meneteskan air mata. Tapi aku
tahu, hatinya teriris. Ku peluk dia, aku terisak dipundaknya.
“Bapak, Mbak, ini Mukhlishin harus
segera dioperasi. Karena kalau tidak segera, ditakutkan akan ada infeksi. Tapi
karena kondisi kepala yang terkena benturan keras dan ada pembengkakan pada
otak, meskipun tidak terjadi pendarahan. Ada kemungkinan resiko obat bius itu
berakibat pada pasien meninggal di meja operasi. Kita tetap mengusahakan, tapi
kita memberi tahu dulu kepada keluarga dengan kemungkinan terburuknya.” Kata
dokter bedahnya.
Ya Allah, apalagi ini. Aku gak mau
kehilangan adek. Adekku satu – satunya. Adek yang tak ajak kemana mana kalo aku
gak ada temen main. Air mataku belum berhenti mengalir sejak kudengar kabar
kecelakaan tadi, dan sekarang semakin deras.
“Ya udah dok, jika memang itu adalah
jalan terbaik untuk menyelamatkan putra saya, silahkan. Semua saya serahkan ke
dokter. Jika memang kemungkinan terburuk itu terjadi, semua itu milik Allah,
semua akan kembali kepada-Nya. Tapi saya mohon dok, lalukan yang terbaik,” kata
Bapak dengan tabahnya. MasyaAllah Bapak. Disini aku benar- benar melihat
sendiri, ketabahan bapak, aku ingin bisa seperti anda pak!! Tapi aku gak bisa!!
Aku gak mau kehilangan adek.
Menit demi menit berlalu. Dokter
sudah siap dengan alat – alatnya, tinggal menunggu obat bius untuk operasi
adek. Disaat menunggu itu, muncul seorang pemuda yang mengaku sebagai anak dari
bapak yang menabrak adekku. Dia datang dengan baik. Meminta maaf. Mengajak
berembuk secara kekeluargaan tapi dengan nada mengancam, “... kalau di bawa ke
jalur hukum adeknya belum punya SIM, tidak membawa surat – surat, tidak memakai
helm, melanggar marka dan juga polisi yang mengurus truk tangki sama motor itu temannya
bapa.” Shit!!! Secara kekeluargaan dengan nada mengancam!!! Ingin rasanya aku
mematahkan lehernya, meremukan wajahnya, mata dengan sorot rasa simpati yang
dibuat – buat, dan bibir yang dengan manisnya berucap seperti ini. Ingin ku
bunuh dia!!! Kamu gak liat adekku kayak gitu!!!
Tapi bapak berbeda dengan aku.
Dengan sabar dan tabahnya, beliau mengeja kata demi kata, bapak tidak
mepermasalahkan itu, yang terpenting sekarang, putranya baik – baik saja. Udah
itu aja. MasyaAllah, kesabaran yang luar biasa. Seandaikan tadi tidak ada bapak
disampingku, sudah kuremukkan wajahya.
Lalu datang Pakdheku dengan mas
Endra, temennya bapak yang nganterin pakdhe. Pakdheku pun gak tega melihat
kondisi adek. Pakdhe yang posisinya adalah seorang ahli agama, tidak tega.
Apalagi aku, aku yang bukan apa – apa. Lalu datang juga Pak Sagiran, Pakdhe
Suhar, Pak Udin, Lek Ponidi dan Lek Yatno. Menanyakan bagaimana semuanya. Pak
Udin tanya bagaimana kejadiannya, lalu aku ceritakan apa yang dibicarakan anak
dari penabrak tadi.
“Loh
mbak, kok ceritanya beda. Ini tadi aku dapet cerita dari warga, tangki itu baru
aja nyalip Mbah Eni, Mbesi, dan Dek Mukhlis muncul dari arah depan. Jadi
tangkinya itu juga melanggar marka. Wong mbak Eni liat langsung, sempet njerit
manggil nama Mukhlis gitu.” Apa?? Jadi mulutnya anak si penabrak tadi cuma bulshit!!!
Kurang ajar!!! Rasanya ingin aku ketemu dia lalu menyobek mulutnya itu. Tapi ya
sudahlah. Tak usah mempermasalahkan itu mut!! Adekkmu mut!!! Liat kondisi
adekmu, itu yang terpenting. Iya, dan semua kembali menunggu.
Kita menunggu. Menunggu lagi. Aku
benci ini. Aku tidak tega mendengar erangan kesakitan yang keluar dari mulut
adekku. Dia minta minum dan gak boleh minum sama dokter. Aku yang tadinya mau
minum, kerongkonganku tersekat, tidak mampu menelan air putih. Aku gak tega.
Iya, mbak gak akan minum dan makan sampai kamu bisa makan dan minum dek!!!
Sampe
pada waktu adekku masuk keruang operasi. Pukul 22.00 WIB. Aku terus
memandanginya sampai pintu ruang operasi itu menutup. Adek, berjuanglah!! Mbak
berharap banyak denganmu!! Kamu kuat dek!! Kamu bisa!!
Kulihat mamak terduduk lemas di
depan kamar operasi. Wajahnya yang penuh dengan kecemasan. Air matanya yang
berusaha ia tahan itu terkadang menetes. Bapak duduk disampingku, dengan lidah
yang tidak berhenti berdzikir.
Aku
yang berada ditengah – tengah mereka. Memeluk mereka, berusaha menahan air mata.
Aku ingin menguatkan mereka. Meskipun aku sendiri tidak bisa menguatkan diriku
sendiri. Kita menunggu lagi. Menunggu proses operasi selesai. Aku benci dengan
kata “menunggu”.
Memang
waktu sejak aku mendengar kabar kalau adekku kecelakaan, aku ngetwit dan
beberapa teman menanyakan keadaannya. Mereka bilang “Mutia yang sabar ya, Mutia
yang kuat ya....” Ingin ku tampar mulut manis mereka. Mudah sekali bilang
sabar... sabar... sabar.... Kalian tidak merasakannya!!!
Ingin
aku ada seseorang yang bisa menenangkanku. Sosok yang melindungiku. Sosok yang
bisa kujadikan sandaran untuk menyandarkan kepalaku. Memelukku,
menenangkanku.... Tapi siapa? Gak ada!!!
Dini
hari.... Pukul 02.30 WIB, dokter keluar dari ruang operasi. Aku tidak tau
apakah itu sudah selesai atau belum. Suara alat memacu jantung terdengar jelas
di teligaku, menggema di ruang itu dan lorong gedung IGD.
Aku
berlari keluar lagi, menuju halaman gedung IGD. Dalam gelap, dalam kalutku,
dalam gundahku, dalam emosiku, dalam sedihku, aku menangis tersedu. Datanglah sahabatku,
Tanti bersama mas Syarif, pacarnya yang memang ikut menunggu proses operasinya
adek. “Mutia gak boleh nangis, Mutia harus kuat. Mana Mutia yang kuat, mana
Mutia yang selalu optimis. Ayolah mut, masuk, kita tunggu adekmu, adekmu sudah
selesai operasi, tinggal menunggu siuman. Percayalah dan mari kita berdoa,
semoga semua baik – baik saja,” kata Tanti. Aku semakin terisak, Tanti lah yang
memelukku. Mengusap air mataku. Dia pun ikut menangis bersamaku. Iya,
sahabatlah yang menjadi sandaranku.
Aku
memasuki ruang operasi. Melihat adekku tergeletak tak sadarkan diri. Kata bapak
sudah selesai operasi. Tapi aku belum lega. Rasa takut masih menghantuiku.
Orang – orang yang ikut menunggu proses operasi adekku udah pamit pulang, lalu
Tanti dan pacarnya juga.
Aku
sendiri lagi. Hanya dengan mamak. Wajahnya masih saja tergurat kecemasan yang
mendalam. Iya seperti aku, tapi pasti kecemasan itu melebihi kecemasanku. Putranya.
Darah dagingnya. Kini tergeletak diruang depan sana.
Aku
berusaha menjadi kuat, ku rayu mamak dan bapak agar mau minum dan makan. Bapak
mau makan dan minum karena bapak tau, karena seorang lelaki itu memang
mengedepankan logika sedangkan wanita mengedepankan perasaan. Wajar. Aku
tadipun begitu. Tapi aku gak mau lemah. Aku kuat. Aku bisa. Aku pun meneguk air
putih dan memakan beberapa kue.
Tapi
beda dengan mamak. Sejak tadi siang sampai sekarang belum setetes air pun masuk
ke kerongkongannya. Belum sebutir nasipun masuk ke perut beliau. Ku tenangkan
dia,” Mak, ayo minumlah sedikit saja. Nanti sakit. Mukhlis sudah selesai
operasi. Dan semua baik baik saja. Tinggal menunggu sadar mak. Kalau mamak gak
makan nanti sakit. Kalau mamak sakit nanti yang ngurusi adek siapa mak? Yang
nunggu orang sakit itu gak boleh sakit mak. Harus sehat mak!!,” baru mamak mau
minum seteguk air putih dan memakan sebuah kue.
Pukul
04.30 WIB, Mukhlis dibawa ke ruang radiologi. Dirongsen lagi. Dan baru selesai
sekitar pukul 06.00 WIB.
Pagi
itu kulangkahkan kaki. Mencarikan sarapan untuk mamak dan bapak yang menunggu
Mukhlis mendapatkan ruang, karena masih di letakkan di bagian IGD. Aku mengurus
semua administrasinya. Sampai pukul 10.00 WIB, muklis dapet kamar di ruang IMC.
Adekku
dari kemarin teriak – teriak kesakitan dan terkadang tubuhnya kejang – kejang.
Aku takut. Dan hari – hari terus berlanjut. Masih menunggu adek. Bapak yang sempat
2 hari 2 malam tidak tidur, mamak yang nafsu makannya berkurang, aku yang dibantu
sama Lek Yatno, kesana – kemari mencarikan apa yang mereka butuhkan. Iya, kita
bersama menjalani semua ini. Kita pasti bisa.
Iya
aku ngomong ngomong “aku pasti bisa, aku pasti kuat”, tapi ketika gelap datang.
Ketika semua orang sudah terlelap. Aku masih terjaga. Termenung di sudt gelap. Sendirian.
Aku wanita. Hatiku berbisik, aku butuh sosok lelaki yang mampu menangkanku,
menemani malamku, membantuku menyiapkan apa yang mereka butuhkan. Ah... tapi
itu semua hanya dalam bayanganku saja. Iya aku anak pertama, Anak pertama yang
harus bisa melindungi adekku, yang bisa menjaga mamak dan bapak. Tapi aku
perempuan.
Yah...
Mutia itu seorang perempuan. Perempuan yang harus berperan sebagai sosok lelaki
disini. Melindungi semuanya, mengurus semuanya, menyiapkan semuanya, semua apa
yang mereka butuhkan. Aku bisa. Aku harus bermental seperti laki – laki. Yang kuat.
Yang mengedepankan logika. Bukan perasaan.
Selama
nungguin adek, aku menjadi seorang wanita yang pemberani dan gak punya rasa
malu. Mutia yang dulu takut gelap, yang dulu kalau pengen pipis aja harus
mbangunin mamak buat nemenin ke kamar mandi. Semenjak nungguin adek, Mutia
kemana – mana sendiri. Tengah malam aku harus mencari air panas, nyari apa yang
dibutuhkan adek, aku melangkahkan kakiku sendirian. Tanpa memperdulikan
sekelilingku. Aku nyariin makanan buat bapak sama mamak sendiri, tidurpun sendiri.
Karena aku gak bisa tidur dekat adek, aku gak tega denger erangan sakitnya. Dan
aku memutuskan untuk tidur di masjid sebelah selatan RS, masjid yang cukup
sepi. Beberapa malam aku tidur disitu.
Kadang aku juga tidur di kursi – kursi tunggu, kadang juga aku cukup berbaring
dilantai lorong RS yang sepi. Cukup pake jaket, kaos kaki, lalu kukup sarung
dan bantalan tas. Aku pasrahkan semuanya sama Allah, ada malaikat yang
menjagaku, ada Allah yang tidak pernah tidur, pasti Dia akan melindungiku.
Sampai waktu itu bapak pasien samping adekku dan bapak susternya bilang, “mbak ini berani
banget ya, kemana – mana sendiri, tidur di sembarang tempat”. Karena keadaan
pak.
Aku
tidak malu untuk bertanya ini itu jika ada yang kurang jelas. Aku gak malu
makan diangkringan bareng cowok – cowok. Dateng di angkringan, ngambil nasi,
makan tanpa peduli mereka. Aku tidak malu berjalan kesana kemari sendirian
mencari apa yag mereka butuhkan. Aku selalu mencarikan makanan yang terbaik
untuk mamak bapak, makanan yang harus menggugah nafsu makan mereka.
Aku
kesana kemari, mencari dan mengurus semuanya. Aku gak peduli lelahku. Aku gak
peduli kakiku yang membengkak dan terasa sangat sakit. SDlam fikiranku, ini
belum seberapa dari sakit yang ditanggung adek, belum seberapa dari apapun yang
ditanggung mamak bapak. Apapun, buat mereka akan aku lakukan. Akan aku carikan
apa yang mereka butuhkan. Sekalipun aku harus merangkak.
Pagi
nyariin air panas sama sarapan bapak mamak, sekaligus buat makan siang nanti,
lalu ke kampus, meskipun beberapa kali ijin, siangnya pulang ngambil ganti buat
mamak bapak, sama ngurus rumah, simbah yang sedang sakit stroke, sapi dan kambing,
sore ke RS nganterin makanan buat mamak bapak, lalu nggantiin mereka nungguinn
adek. Yah, selama 9 hari. Rutinitasku seperti itu
Sampai
pada hari Jumat 26 April 2013. Bapak tadi malam jatuh dari kursi gara – gara
tertidur dan ambruk. Bapak bilang udah gak kuat. Dua hari dua malam adekku gak
tidur. Secara fisik adekku sadar, melek, tapi dia tidak sadar kalau dia sakit,
teriak – teriak, ngigo dan ngomyang. Setelah dokter utama visit, dokter bilang
adek boleh pulang.
Adekku
sudah dibawa pulang, meskipun kesadarannya belum pulih. Otak, fikiran dan
tubuhnya tidak sejalan. Dia pengen melakukan apa yang biasa dia lakukan, tapi
kalau berdiri dia ambruk, kalau dilarang dia misuh – misuh dan ngamuk. Ya
Allah, cobaan apa lagi ini. Aku takut di kayak gini terus. Aku takut
kesadarannya gak pulih. Sampai aku bingung, emosi, mamak bapak tidak pernah
tidur, aku juga mau ujian.
Tapi
alhamdulillah.... Perlahan – lahan semua membaik.
Bukan
hanya karena obat dari dokter, tapi juga obat cina yang dicarikan oleh leh
Yatno, adek cepat membaik. Tapi semua itu tidak lepas dari doa kalian. Doaku,
doa bapak, doa mamak. Dan semua tidak lepas dari kuasa Allah SWT. Allah yang
Maha Penyayang, aku yakin ujian ini ada karena Allah sayang sama kita. Sayang
sama adek. Allah yang Maha Tahu, Allah yang Maha Menyembuhkan, Allah Yang Maha
Kuasa. Alhamdulillah ya Allah....
Dan
terimakasih, atas doa dan perhatian dari bapak – bapak, Tanti sama mas pacar
yang ikut nungguin pas adek operasi. Keluarga – keluarga yang lain, saudara –
saudaranya bapak dan mamak, keluarga besar dari Jatikuning, keluarga dari Cithakan,
keluarga dari Pekalongan, keluarga dari Pacitan dan juga keluarga besar dari
Mbayat. Mas Endra dan temen – temen bapak. Mas Salim dan mbak Umi sama dek
Afika, pak Rahmat, Bu Amin, Mas Anton. Teman – teman kampus yang diwakili Dyah,
Emy, Ogy, Dita, Boim, Iyan dan Tanti, yang ikutan njenguk lagi setelah tadi
malam nemenin aku. Mas Fosil yang udah 2 malam nemenin aku nungguin adek, mas
Ganef, Bapak – bapak dan Ibu – Ibu dusun Jatikuning baik dari jamaah masjid
Muttaqien, masjid Utamajati ataupun masjid Al Hajar Aswad. Teman teman Wonosari.com,
mbak Pipit, mas Nanang, mas Iwan Dhana, mbak Devita, Mas Wawan, mas Tri dan mas
mbak yang belum kesebut, maaf waktu njenguk gak ketemu karena pas aku pulang
ngambil baju ganti buat mamak bapak. Teman – teman Risma Muttaqien dan adek –
adek TKA – TPA masjid Muttaqien. Mas Cemy, mas Supran, mas Wahid dan mbak
pacar. Temen OSPEK-ku, Arif, angga dan wulan. Mas Danu dan pacarnya, Dyah yang
njengukin adek lagi. Mas Aris, mas mantan yang njengukin adek juga, kita lama
gak ketemu ya. Bapak – bapak Ibu – ibu dan teman – teman adekku yang njengukin
dirumah, Dan semua teman – teman yang mengirimkan doa untuk adekku. Terimakasih
semuanya.
Maaf
kalau kemarin dalam kalutku, aku meragukan semua perhatian dan simpati kalian.
Semua
kejadian pasti ada hikmahnya, semua ujian dari Allah pasti mengandung hikmah
yang luar biasa. Dan memang benar.
Aku
yang dulunya gak pernah pegang arit, karena kejadian ini aku jadi mau ngarit.
Mau ngambil damen di atap kandang yang pake manjat dan agak susah, gatel lagi.
Mau masak air buat minum sapi sama kambing, terus ngubleg dedak juga buat
campuran minumnya sapi, yang dulunya aku jijik ngelakuin kayak gitu.
Mutia
jadi mau pegang sapu, yang dulu males nyapu, Mutia jadi mau nyuci gelas piring
yang dulunya jijik kalau nyium bau dari tumpukan gelas piring kotor.
Mutia
jadi lebih bisa menghargai sesuatu, lebih mempunyai rasa peduli, lebih
mempunyai rasa sopan. Dan Mutia menjadi lebih kuat. Mutia menjadi wanita yang
kuat. Mutia belajar apa itu sabar, apa itu tabah dan segalanya itu.
Dan
yang luar biasa. Mutia mau masak!!!
Mutia
masak!!
Mutia
yang gak pernah masak, gak pernah masuk dapur. Setelah kejadian itu, Mutia jadi
masak nasi (meskipun kadang – kadang kurang tanak), Mutia jadi masak air...
biar mateng (gak gosong kok), Mutia jadi mau pegang wajan, goreng tempe telur.
Mutia jadi masak sayur, yang gak pernah masak sayur, yang dulunya cuma liat dan
ngrecokin mamak, jadi kurang tau bumbu – bumbunya, udah bisa nyayur lodeh sama
gule loh....
Mutia
mau kena angus hitam – hitam, karena memang masak dirumah gak pake kompor, jadi
masih pake tungku dengan bahan bakar kayu. Yang bikin apinya kadang susah
banget kalau kayunya agak basah, mati – mati terus gitu.
Luar
biasanya, aku gak ada beban sama sekali buat ngelakuin semua itu. Yang dulunya
kalau gak disuruh gak mau, kadang disuruh pun pura – pura gak dengar, jawab
dengan nada keras dan gak mau.
Dan
satu lagi, Mutia jadi rajin sholat malem, Mutia jadi semakin dekat dengan
Allah, yang sebelumnya mulai menjauh karena sibuk memblusuk. Di setiap sujudku,
satu doaku, sembuhkanlah dia ya Allah. Itu saja.
Allah
Maha Mendengar, Allah mengabulkan doaku. Doa dari seorang pendosa sepertiku. Ketika
berdoa, aku merasa tidak pantas memohon, tidak pantas bersujud dihadapan-Nya.
Aku merasa, kalau aku tidak punya rasa malu untuk memohon bersujud meminta
kepada-Nya. Karena dosaku terlalu banyak, aku sadar itu. Tapi Allah Maha
Penyayang, Allah sayang sama adek, sama mamak, sama bapak, sama aku, sama kita.
Ku
buka album lama, tentang aku dan adekku, kebersamaan kita :). Maaf kalau mbak
dulu sering marah – marahin kamu dek, mbentak – mbentak kamu, nyuruh kamu ini
itu. Mbak udah janji ya, besuk kalau kamu udah sembuh total mbak mau ngajakin
kamu beli tas sama sepatu :)
Mbak sayang kamu dek. Mbak
pengen kamu segera sembuh dek, kita jalan – jalan lagi, jajan mie ayam lagi,
gojekan lagi, poles polesan lagi, kejar kejaran ngubengi kebon lagi, foto –
foto lagi :)
Mbak rindu tawamu dek :) |
Aku
sayang mamak, mamak yang kuat, wanita perkasa, kuat nggendong rumput
yang berat dari ngalas yang jaraknya berpuluh – puluh kilo meter. Meskipun
mamak sering marah –marah, tapi terkadang aku yang salah dan egois. Maaf mak.
Aku sayang Bapak. Pemimpin yang luar biasa dalam keluarga. Sosok panutanku, sosok yang begitu aku kagumi, sosok yang tabah, sabar dan imam dunia akhirat dalam keluarga kita.
Bapak yang menguatkanku “Allah tidak akan memberikan ujian yang melebihi
kemampuan kita, Allah tidak akan memberikan cobaan yang melewati batas
kemampuan kita”. Iya pak, aku yakin itu. kita bisa pak!!
Dan
setelah ujian ini. Aku jadi tau, aku menemukan jawaban dari pertanyaan
“Kemanakah Cintaku?”
Iya,
cintaku ada pada keluargaku. Rasa takut kehilangan, rasa ingin selalu menjaga mereka, rasa ingin selalu melindungi mereka, rasa rela untuk melakukan apapun demi mereka, demi mereka sehat dan bahagia. Iya, inilah cintaku, disini cintaku, di keluarga sederhana ini. Keluarga sederhana yang luar biasa. Mereka yang ingin aku jaga dan aku lindungi. Cintaku ada pada mereka. Pada adek, pada mamak dan bapak. Aku
cinta kalian. Aku sayang kalian :)
semoga cepat sembuh ya dhek mukhlisin
BalasHapusSemangat, karena hidup harus terus berjalan :)
BalasHapusemail : ilung2013@facebook.com
BalasHapusiya
http://inidelo.blogspot.com/
BalasHapus